Senin, 16 Mei 2011

BOSSCHA

Observatorium Bosscha Lembang

Lembang disebut sebagai KOTA BINTANG (Bersih, Indah, Nyaman, Tertib, dan Anggun). Kota Lembang dikenal di dunia internasional karena keberadaan Observatorium Bosscha yang telah berusia 80 tahun. Observatorium Bosscha memiliki fasilitas teropong bintang dan perpustakaan astronomi yang terbaik dan terlengkap koleksinya di Asia Tenggara. Dalam The Astronomical Almanac, nama Lembang tercantum sebagai salah satu tempat di antara beberapa ratus tempat di dunia yang terpilih sebagai lokasi peneropongan bintang.

Observatorium Bosscha didirikan pada 1 Januari 1923 ditandai dengan mulainya perencanaan pembangunan Refractor Ganda Zeiss dengan diameter lensa sebesar 60 cm (24 inchi) dan panjang titik api sekitar 11 meter. Saat pembangunannya selesai pada 7 Juni 1928, teleskop ini menambah jajaran teleskop yang diperhitungkan di belahan Bumi Selatan. Ketika itu teleskop besar yang mengeksplorasi langit selatan hanya refraktor Bloemfontein 27 – inchi di Afrika Selatan (berdiri 1928) dan refraktor Mount Stromo 26 – inchi di Australia (berdiri 1925).

Teleskop utama di Observatorium Bosscha adalah refraktor Ganda Zeiss 60-cm (1928) yang digunakan untuk pengamatan bintang ganda dan planet. Berikutnya adalah teleskop tipe Schmidt “BimaSakti” dengan diameter cermin 71-cm yang merupakan satu-satunya teleskop survey di kawasan Asia Tenggara dan dibangun atas sumbangan UNESCO tahun 1960. Teleskop lainnya adalah teleskop Cassegrain GOTO 45-cm (hibah pemerintah Jepang tahun 1989), teleskop Unitron 10.2-cm dan teleskop Bamberg 37-cm.

Observatorium Bosscha merupakan sebuah laboratorium astronomi yang menjadi perintis perkembangan astronomi dan ilmu pengetahuan antariksa di Indonesia. Kontinuitas kerja dan tanggung jawab untuk mengembangkan astronomi antar generasi di Indonesia merupakan tugas penting yang dilaksanakan Observatorium Bosscha hingga saat ini. Keberadaan Observatorium ini membuka jembatan untuk beinteraksi dengan dunia ilmiah internasional melalui tukar menukar ilmu pengetahuan.

Keberadaan Observatorium Bosscha memberi kontribusi penting bagi pendidikan formal maupun informal. Observatorium ini dipergunakan sebagai laboratorium astronomi bagi pendidikan sarjana dan pasca sarjana serta sebagai model Observatorium maupun museum astronomi dalam dunia arsitek dan seni rupa. Selain itu, setiap tahun puluhan ribu siswa berkunjung ke Observatorium Bosscha untuk mempelajari alam semesta melalui interaksi langsung dengan astronom dan pengamatan benda langit menggunakan teleskop.

Observatorium Bosscha merupakan aset berharga bagi bangsa Indonesia sehingga lingkungan di sekitarnya perlu dijaga kelestariannya. Lingkungan Observatorium harus tetap terjaga dari polusi cahaya maupun polusi angkasa (kandungan aerosol), agar pengamatan benda langit tidak terganggu. Konservasi terhadap kawasan di sekitar Observatorium telah dilakukan dengan menjadikan Observatorium Bosscha sebagai Benda Cagar Budaya. Lingkungan konservasi tidak menghalangi “pembangunan” Lembang, namun sebaliknya, konsep pembangunan Lembang perlu difikirkan keunikannya dengan tidak meniru pembangunan kota pada umumnya.

Wisata Kota Tua

Wisata Kota Tua

Jakarta memang tak hanya dipadati dengan gedung-gedung tinggi, tapi juga masih menyimpan bangunan-bangunan kuno bersejarah. Kawasan Jakarta Kota menjadi pusatnya.

Minggu pagi, saya mencoba berjalan-jalan di kawasan ini, dan berkeliling dengan menggunakan sepeda, yang bisa disewa dari para pengojek sepeda yang mangkal di depan Stasiun Jakarta Kota. Dari Stasiun Kota (Beos), saya menyusuri jalan Kali Besar dan menuju Museum Fatahilah.

Museum yang dibangun pada abad ke-enam belas ini masih berdiri dengan kokoh dan anggun. Konon, semasa VOC masih berkuasa, bangunan ini berfungsi sebagai balai kota. Pelengkapnya, di taman Fatahilah juga didirikan air mancur, yang dulunya berfungsi sebagai sumber mata air bagi warga setempat. Sayang, air mancur ini kini sudah tak berfungsi bahkan kondisinya sudah sangat kotor.

Puas dari Fatahilah, saya kembali menyusuri jalanan yang sudah kian ramai dan mulai bising. Sambil mengagumi keanggunan bangunan-bangunan kuno, saya singgah di Toko Merah. Gedung bersejarah yang sudah ada sejak tahun 1730 ini, dulunya merupakan kantor Gubernur Jendral VOC, Baton van Imhoff. Sayang, bangunan ini sekarang sudah disegel sehingga saya tak bisa melongok isinya.

Perjalanan kemudian saya lanjutkan ke Jembatan Kota Intan. Jembatan yang sudah lima kali berganti nama ini dibangun pada tahun 1628. Jembatan ini dilengkapi dengan pengungkit yang berfungsi untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Namun, lagi-lagi karena kondisi yang tak terawat, pengungkit ini sekarang tak bisa difungsikan lagi. Bahkan, pemandangan sungai di bawah jembatan juga tak nyaman di mata, sementara bau pesing pun terasa menyengat. Sangat memprihatinkan.

Perjalanan saya akhiri di menara Syahbandar, yang menurut sejarah dibangun pada tahun 1839. Dulunya, bangunan ini merupakan kantor pabean dan berfungsi untuk mengintai kapal yang masuk melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Namun, tentu saja sekarang fungsinya lain, yakni menjadi bangunan cagar budaya yang kondisinya tak terlalu diperhatikan.

Jakarta sebenarnya sangat kaya akan bangunan-bangunan bernilai tinggi. Tapi, upaya pelestarian bangunan-bangunan kuno bersejarah ini sangatlah kurang. Bila dibiarkan terus begini, entah bagaimana jadinya wajah bangunan-bangunan bersejarah di kawasan Jakarta Kota ini puluhan tahun yang akan datang.